NEWS UPDATE :  

INFO

Hidangan di Rumah Mendiang Mang Yunus

Pada hari Mang Yunus mengembuskan napas terakhir, Turidah adalah satu-satunya anak yang berada di sisi ranjang bapaknya, sekaligus yang mendengarkan gumaman terakhir tentang pembagian waris.


Oleh: Minanto |

Manuskrip novelnya Aib dan Nasib memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019, dan terbit melalui Marjin Kiri pada tahun 2020. Aib dan Nasib juga menjadi prosa pilihan Majalah Tempo pada tahun 2021. Saat ini ia mengajar bahasa Inggris di salah satu tempat kursus di Indramayu, dan baru saja menerbitkan novel keempat yang berjudul Kemelut Rondasih dan Dua Anaknya melalui Gramedia Pustaka Utama.


Tursinah terpaksa menelan sari dari seruas kelingking potongan tebu yang ia jumput dari nasi kalo pemberian Kaji Darpan. Ia tak sampai hati mengomentari betapa kecut potongan tebu itu terasa, meski ditagih komentar bagaimana rasa se-kalo nasi berkat itu oleh Bi Darimpen. Sebelum sari tebu itu terjun ke kerongkongan Tursinah, Bi Darimpen mengujarkan komentar terakhir, “Kaji Darpan itu akan lebih baik kalau mengupah juru cicip sebelum paket nasi berkat ini diedarkan agar ia tak sampai malu mendengar ada orang bilang ia adalah Kaji Medit bin Iprit.”

Tursinah cuma mesem-mesem saat Bi Darimpen mencibir bibir, lalu langsung pamit. Perkataan Bi Darimpen tentu tidak ikut pamit, malah menetap di pikiran Tursinah yang sempat kusut gara-gara telepon dari Tunjinah, saudarinya yang setahun lebih tua darinya. Beberapa saat lalu sebelum Bi Darimpen bercuap-cuap tentang hidangan tahlil dari mendiang istri Kaji Darpan, Tunjinah—dengan suara serak khas biduan dangdut pantura—berkata, “Punten, Yu, minggu depan pas bada Jumat, tahilan ngatus[1] buat mendiang bapak kita akan dilaksanakan. Jadi, mohon siapkan uang lima ratus ribu saja masing-masing patungan masak-masak nanti. Kesuwun.”

Seperti sudah-sudah terjadi, Tursinah tidak bisa langsung memberi tanggapan. Tidak ya, tidak juga mbuh, tidak juga tidak. Ia berdeham entah sampai ke telinga Tunjinah atau tidak. Tetapi suara Tunjinah memang langsung redam sesaat setelah cuap-cuap Bi Darimpen terdengar bahkan dari beberapa langkah sebelum ia tiba di teras rumah Tursinah sembari menjinjing nasi se-kalo.

Siang itu, Buk—suami Tursinah—memang sedang tidak pergi ke empang, karena tidak ada perintah dari majikan. Maka ia bisa menghadiri tahlilan seratus hari mendiang istri Kaji Darpan. Ia bisa saja memberitahu Buk perihal telepon dari Tunjinah, tetapi ia memilih bungkam untuk sementara. Ia pikir, sudah genap lima hari ini Buk tidak berangkat ke empang, dan itu berarti sudah lima hari pula mereka berhemat; makan dicukup-cukupkan, uang sangu anak-anak dipas-paskan, dan uang jajan mereka pun perlu dikurang-kurangi, dan di hari ke lima—hari itu—tidak diberikan barang sepeser sama sekali dengan cara memarahi mereka tanpa alasan.

Ketika Buk bertanya siapakah yang menelepon, Tursinah tak sampai hati berkata-kata, meskipun ia tahu Buk pastilah tahu suara Tunjinah di seberang sana. Lantas Buk berkata, “Aku mulai garap empang lagi itu lusa. Kauhitung saja sendiri berapa ribu harus kita keluarkan sebelum aku diupah lagi.”

“Bagaimana dengan setoran bank minggu depan?”

“Jangan bingung-bingung,” sambung Buk.

“Mana?”

Buk melirik dengan tatapan nan tajam menyelisik. Mereka sama-sama tahu, jika uang itu sampai ke tangan Tursinah, entah kata-kata kasar apalagi akan terujar dari penagih pihak bank. Tursinah beringsut. Ia tahu jika macam-macam dengan uang setoran bank, tidak saja ia dimaki-maki oleh penagih bank, tetapi juga oleh Buk.

Sore itu juga, Tursinah berinisiatif mendatangi rumah Tumaroh—saudarinya yang setahun lebih muda darinya—yang tinggal tak jauh dari rumah mereka, untuk menegaskan rencana tahlilan minggu depan itu. Tidak bisa tidak, ia menjinjing sekantong ikan asin kering barang untuk pembuka obrolan. Tumaroh membuka warung kecil-kecilan yang menjual beras, bumbu-bumbu masakan, dan jajanan anak-anak. Ketika Tursinah tiba, Tumaroh sedang menimbang beras sekaligus meladeni bocah-bocah yang sedang berebut bayar ciki.

“Bandeng di rumah sudah tidak tersisa, Tum. Masih ada ini saja. Terimalah,” Tursinah meletakkan keresek hitam berisi ikan asin itu di atas gunungan beras. Tumaroh mengucapkan terima kasih. “Tum, Tunjinah sudah melepon kamu?”

“Belum.”

“Telepon suamimu mungkin?”

“Suamiku pasti kasih tahu kalau ada telepon ke mari,” jawab Tumaroh. “Kenapa begitu?”

“Kata Tunjinah, Jumat depan kita masak-masak lagi buat ngatus bapak. Dia bilang kita patungan lima ratus ribuan.”

“Sekarang aku enggak bisa ikut patungan dan enggak bisa juga minggu depan. Suamiku baru gajian dua minggu lagi. Kalau memang harus sekarang, tolong utang dulu darimu.”

“Boro-boro, aku utangin kamu, Tum. Duitku juga pas-pasan. Itu pun sudah kurencanakan buat setor bank. Jadi, kalau kusumbangkan buat tahlilan ini, berarti aku perlu cari duit lagi buat setoran bank.”

Aih! Tumaroh berseru. Ia mempersilakan Tursinah duduk sembari mengoper aqua gelas. “Begitulah keadaanku, Tur. Suamiku tidak akan mau cari utang sana-sini lagi, apalagi kalau cuma buat tahlilan. Kau tahu sendirilah bagaimana dia.”

Tursinah mengangguk. Ia melubangi sedikit gelas aqua itu, lantas berkata, “Terus bagaimana dong, Tum?”

“Memang Tunjinah tidak bisa menalangi uang patungan kita dulu?”

“Mbuh.”

“Kenapa tidak ditanya?”

“Mbuh.”

“Kalau memang dia bersikeras mengadakan tahlilan itu, mungkin dia sedang ada duit lebih.”

“Dia memang terdengar ngotot. Tapi, mana mungkin dia ada duit lebih.”

Tursinah pulang dengan tangan hampa. Lantaran tak tahan memikirkan acara tahlilan itu, ia lapor kepada Buk bahwa Tunjinah telah berinisiatif mengumpulkan uang patungan. Buk cuma berkata, “Kau tinggal pilih, kau mau dimaki olehku dan tukang bank atau oleh sedulur-sedulurmu. Dimaki oleh semua orang pun, aku dan kamu akan tetap cari utang dari orang lain.”

Tursinah tidak berkutik. Lantas Buk menambahkan, “Dipikir-pikir, Tumaroh jauh lebih pintar darimu. Ia tak pernah melanggar omongan suami. Kau jua tahu suami Tumaroh sudah pasti menerima gaji bulanan, tetapi bagus ia tetap bilang enggak ada uang. Daripada kamu, jelas-jelas enggak ada uang tetapi malah ngaku ada.”

Tursinah melengos.

Esok hari sambungan telepon datang, dan sesegera Tursinah melihat nama Tunjinah, ia langsung merampas gawai dari tangan si anak bungsu. “Tun, halo, Tun. Bagaimana?”

“Bagaimana, Yu, uang bisa kuambil nanti sore?” tanya Tunjinah tanpa basa-basi.

“Hmm…,” Tursinah sengaja berdeham agak lama. “Bagaimana ya, Tun. Aku lagi enggak pegang duit sekarang-sekarang ini. Kau talangi patunganku dulu lah kalau lagi ada uang mah.”

“Lho, kok begitu, kemarin pas kutelepon sampean diam saja. Kupikir ada duit.”

“Ya, memang ada, tapi untuk setoran bank, Tun.”

“Lho, kok buat bank. Bapak ngatus lho ini, Yu.”

“Ya, tahu. Tapi bagaimana ya, Tun.”

“Kemarin Yu Tumaroh juga bilang enggak ada duit. Sekarang malah sampean. Terus bagaimana dong ini?”

“Ya, mau bagaimana lagi? Kami sama-sama enggak ada duit. Kalau kamu lagi ada duit lebih, mbuh talangi kami dulu, gitu lho, Tun,” ujar Tursinah agak rendah.

“Bagaimana dengan Kang Dur? Dia lagi ada duit?”

“Boro-boro nalangin kalian. Duit pas-pasan begini. Kang Dur malah cuma nitip duit patungan. Udah kusimpan. Jadi uang baru ada sejuta. Besok dia mau langsung berangkat ke Kalimantan lagi. Jadi enggak bisa ikut urus-urus.”

“Duh, bagaimana ini, anak lanang siji malah enggak hadir di ngatus bapak itu bagaimana nanti?”

“Coba sampean mohon utang ke sedulur-sedulur suami sampean, Yu, moga ada.”

“Hutang ke siapa?”

“Mbuh, coba sampean mikir.”

“Coba kamu mohon utang ke Kang Mur, sedulur suamimu itu.”

“Lho, kok aku? Sampean dong.”

“Ya sudahlah, nanti aku ijin dulu ke Buk.”

Sambungan telepon itu berhenti tanpa simpulan. Sementara itu, Buk, tanpa tedeng aling, berkata, “Sudah benar prinsip Tumaroh dengan bilang enggak ada duit.”

“Apa lagi, sih, jangan bikin aku tambah pusing,” ujar Tursinah dengan nada agak terdesak.

“Coba pikir baik-baik, Tur,” sentak Buk, “Tumaroh itu buka dagangan, dan suami kerja di pabrik, dan anak cuma satu. Memang duit mereka pergi ke mana?”

“Mungkin mereka ada cicilan bank juga.”

“Siapa tahu, kalau kamu juga enggak tahu.”

“Ah, sudahlah,” ujar Tursinah jengkel.

“Terus apa maksudmu bilang ke Tunjinah mau ijin dulu kepadaku?”

“Ya, maksudku, uang setoran bank kita sampaikan dulu buat ngatus. Terus kita pikirkan lagi buat setoran bank.”

“Duh, Gusti, otakmu ditaruh di mana, Tur, Tur?! Apa memang karena otakmu sudah disimpan di luar kepala sampai-sampai kamu bebal dengan makianku dan makian orang bank?”

Tursinah melengos.

“Yang jadi suami itu kamu, Buk! Enggak malu kamu jadi suami?”

“Jangan singgung-singgung aku sebagai suami! Duit ini adalah tanggung jawabku dari utangmu ke bank.”

“Utangku? Ini utangmu juga! Utang bank enggak akan kuambil kalau bukan atas izinmu!”

“Lha, betul itu! Jadi, urusan tahlilan itu urusanmu dengan saudara-saudaramu! Bukan urusanku dengan belatung-belatung bapakmu di pekuburan sana!”

Tidak bisa tidak adu mulut pun terjadi.

Mang Yunus meninggal dunia setelah cukup lama menderita sakit komplikasi: jantung bocor, gula darah semakin parah, juga kolesterol tak terkontrol. Ia meninggalkan lima anak; Mursid, Tunjinah, Tursinih, Tumaroh, dan si bungsu Turidah. Pada hari Mang Yunus mengembuskan napas terakhir, Turidah adalah satu-satunya anak yang berada di sisi ranjang bapaknya, sekaligus yang mendengarkan gumaman terakhir tentang pembagian waris.

Usai pemakaman jenazah Mang Yunus, pada sore hari mendung—ketika tersisa satu dua orang tetangga duduk-duduk di pelataran—Turidah berkata kepada keempat saudaranya, “Kang, Yu, kata bapak, rumah dan tanah di sini untukku, rumah dan tanah di Singaraja itu untuk Yu Tursinih, kebon di kidul Singaraja itu untuk Yu Tumaroh dan Yu Tunjinah, dan sawah seratus bata itu untuk Kang Mursid.”

Perkataan Turidah terdengar seperti angin lalu, tak satu telinga pun menangkap sepatah-dua kata. Yang malah kemudian sahut-bersambut adalah tentang makanan apa yang sebaiknya dihidangkan untuk tahlilan malam nanti itu. Turidah ikut nimbrung, Tumaroh menginisiatif lemper, sementara Tursinah lebih tertarik dengan hidangan-hidangan kering macam keripik, lalu Tunjinah mengusulkan bubur. Biar afdol, ia bilang, biar orang-orang akan datang lagi pada tahlilan malam kedua, ketiga, sampai ketujuh nanti.

Sesaat setelah Tunjinah mingkem, Mursid mengangkat suara, “Tahlil, tahlil, kita tidak akan menggelar tahlil malam ini, seperti orang buta agama saja!”

“Ngomong apa sampean itu, Kang,” sambung Tunjinah.

“Sudah kukatakan kepada orang-orang di pekuburan tadi. Ustad Kamal juga sudah setuju. Tidak ada tahlil-tahlilan.”

“Enggak pantas sampean ngomong begitu, seperti enggak ada rasa hormat kepada bapak sendiri,” ujar Tunjinah. “Benar itu, Yu?”

Tumaroh, Tursinih, dan Turidah bergeming.

Tunjinah tidak ikut mengekori keranda ketika arak-arakan jenazah sampai ke tempat peristirahatan terakhir. Ia pun meleng, dan lantas tegeragap, “Astagfirullah’alazim, Kaaang, Yuu, pikiran sampean-sampean itu kenapa? Kalian sudah tidak ada rasa malu lagi? Kalian sudah seperti terang-terangan membuang bangkai manusia di depan orang-orang. Astagfirullah’alaziiim!”

“Sebetulnya aku juga tidak setuju sama Kang Mursid, Yu,” ujar Tumaroh. Ia lantas ditimpali agar diam oleh Mursid, sehingga belum sempat Tursinih dan Turidah angkat suara, Mursid memaki mereka, “Diam bacot-bacot kalian itu!” Barulah lelaki itu menjadi corong perhatian.

“Kalian itu tidak tahu diri atau memang saking pengen keceluk[2] ? Kakangmu ini tahu isi pedaringan kalian. Tolong, sekali ini saja jangan membesarkan gengsi kalian. Lagipula, sepemahamanku, Kanjeng Nabi Muhammad enggak pernah bikin gelaran tahlil-tahlil begini kalau ada sahabat-sahabat meninggal dunia.”

“Itu kan nabi. Ini bapakmu sendiri,” celetuk Tunjinah.

“Justru itu, nabi saja enggak, kenapa bapak kita harus?”

“Itu kan di Saudi sana, ini kan di Tegalurung,” celetuk Tunjinah tak mau kalah.

“Justru itu, di Saudi saja enggak, kenapa notabene di Tegalurung harus?”

“Ini soal penghormatan kepada mendiang bapak kita, Kang. Jangan kau samakan dengan sahabat-sahabat nabi!” Tunjinah tak berhenti mengelus dada sembari beristighfar tak putus-putus.

“Penghormatan yang kau bilang itu enggak diajarkan oleh nabi. Barangkali—andaikan saja nabi masih hidup—ia akan membenci tahlilan macam ngundang orang-orang beramai-ramai menghabiskan jatah makanan bagi keluarga si mayit.”

“Oh, jadi sampean keberatan nyumbang,” sahut Tunjinah. “Ya, enggak apa-apa kalau begitu, kami anak-anak perempuan Bapak Yunus bisa sendiri menggelar tahlilan ini. Kesuwun sudah kasih ceramah! Sekarang biarkan aku memohon ustad Kamal untuk pimpin tahlil malam ini. Terserah kalian mau bantu atau tidak,” ujar Tunjiah sembari mengedarkan pandangan kepada Tumaroh, Tursinih dan Turidah.

Tumaroh, Tursinih, dan Turidah tergagap-gagap ketika Mursid meninggalkan pelataran rumah dengan membuang bising dan asap motor keras-keras. Beberapa tetangga mulai melipir setelah melihat kejadian canggung itu.

Malam itu memang ustad Kamal datang memimpin tahlil. Beberapa orang pun tampak merasa canggung duduk di pelataran; satu dua lelaki—yang mengantarkan si mayit ke pekuburan—pun tampak berbisik-bisik keheranan, bukankah anak-anak mendiang Yunus itu tidak menghendaki gelaran tahlil? Tentu bisik-bisik itu beredar ke semua hadirin sampai berlalu bagai angin ketika mereka sadar bahwa si sulung Mursid tidak hadir; tidak pada malam kedua, pada ketiga, sampai pada ketujuh.

Pada hari menjelang empat puluh hari kematian mendiang Mang Yunus, Tunjinah bersilaturahmi ke satu persatu rumah mereka. Dengan templat ucapan serupa, “Punten, Kang, Yu, Nok, besok lusa adalah peringatan empat puluh hari mendiang bapak kita. Kita akan lebih baik jika patungan untuk menggelar tahlil. Untuk itu bolehlah kita mengeluarkan lima ratus ribu saja masing-masing.”

Kepada Mursid, ucapan itu disambut dengan, “Tahlilku ada pada setiap doaku sehabis salat setiap hari, bukan melalui mulut-mulut tetangga.”

Kepada Tumaroh, disambut dengan, “Aku manut sama Kang Mursid saja.”

Kepada Tursinah, disambut dengan, “Aku, apa kata Kang Mursid dan Tumaroh saja.”

Dan, kepada Turidah, disambut dengan, “Aku, terserah Kang Mursid dan Yu Tum dan Yu Tur saja.”

Mendengar perkataan senada dari mereka, Tunjinah sangat kesal sehingga memaki Turidah, “Darah memang tidak berbeda dengan tahi. Kalau sudah lepas dari badan, lepas plas plas plas! Saudara kandung itu juga tahi. Kalau induk sudah mampus, persaudaraan sudah tidak urus!” Meskipun begitu, berkat kegigihan Tunjinah dalam berucap—merajuk, membujuk, mengoceh, dan meraung-raung—sampai mulut berbusa, mereka tetap merogoh isi kantong mereka juga dan tahlilan itu terselenggara, meskipun, tentu saja, meninggalkan seteru di belakang punggung mereka masing-masing.

Dan hari itu—seminggu sebelum ngatus mendiang Mang Yunus—pun tiba. Sama seperti pada persiapan gelaran tahlil empat puluh hari, berkat busa-busa dari mulut Tunjinah, anak-anak perempuan mendiang Mang Yunus berhasil duduk bersama, berkumpul, dan bercakap-cakap. Kecuali Mursid, mereka sama-sama dapat meluruskan hati.

“Sudah umum nasi berkat isi telor rebus, chicken goreng atau panggang itu,” ujar Tunjinah. “Bagaimana kalau kita semur daging kambing saja? Ditambah lalap, bihun, dan balado terong, dan acar. Yang penting bumbu harus kental dan segar. Jangan seperti nasi berkat mendiang istri Kaji Darpan kemarin. Basi dan tengik. Terus kotak kue itu diisi lemper, bolu, jeruk, aqua, nagasari, dan tebu. Udah itu aja.”

“Cukup uang segitu?” tanya Tumaroh.

“Mbuh. Belum dihitung.”

“Kenapa kita enggak pesen ketering saja?” imbuh Tumaroh.

“Kaji Darpan itu ketering. Kamu mau ambil risiko?”

“Ya, masa kita ikutan ketering Kaji Darpan. Cari ketering lain dong!”

“Kamu mau ambil risiko?”

“Mbuh.”

“Daging sekarang itu mahal. Yang bener telor rebus. Udah itu saja,” sambar Tursinih agak kesal.

“Sudah kubilang telor rebus itu umum.”

“Oh, jadi bener kata Kang Mursid, memang kamu pengen keceluk kalau sudah begini,” Tursinih tidak bisa menahan diri untuk tidak menceletuk beban pikirannya selama ini.

Keceluk bagaimana, Tur? Hidangan ini kuniatkan agar kita enggak dijadikan bahan omongan orang lain. Ini kubicarakan juga kepada kalian dulu buat minta saran. Bagaimana menurutmu, Tumaroh, Turidah?”

“Terserah saja,” ujar Tumaroh dan Turidah serentak.

“Jangan bilang terserah! Katakan saja isi pikiran kalian apa. Jangan sampai karena kalian enggak bilang, nanti kita semua nombok seperti tahlilan empat puluh hari itu,” ujar Tursinih.

Tunjinah sadar bahwa Tursinih sedang tidak enak hati. Ia agak mengendur, dan berkata, “Ya, betul. Sekarang harus disepakati juga. Kalau uang patungan kita kurang, kita tambahkan sama berat sama rata. Kalau uang patungan kita lebih, kita bagikan usai tahlil nanti sama berat sama rata.”

“Ya, menurutku, telor rebus saja biar hemat,” ujar Turidah.

“Telor enggak apa-apa, tapi dibumbui semur atau balado biar enggak polos-polos amat.”

“Ya sudah begitu saja,” ujar Tursinih.

“Tapi, kalau telor saja, terasa agak kurang. Bagaimana kalau ditambahkan balado ceker? Tidak semahal daging kan?”

Semua mengangguk.

“Berapa orang kita undang nanti?” tanya Tumaroh.

“Seratus orang saja,” jawab Tunjinah.

“Apa enggak kebanyakan itu?” tanya Tursinih.

“Kita bikin nasi berkat seratus kotak. Kita undang seratus. Yang datang nanti bisa jadi kurang dari seratus.”

“Kita bikin nasi berkat tujuh puluh saja. Kita undang lima puluh orang,” usul Tursinih.

“Lima puluh orang itu cuma tetangga depan, kanan, kiri dan belakang. Sedikit sekali itu, Tur.”

“Tuh, kan, memang kamu itu pengen keceluk!

Keceluk bagaimana, Tur? Ini kuniatkan demi mendiang bapak. Semakin banyak orang berdoa, semakin bagus.”

“Enggak, bukan begitu,” sambar Tursinih. “Kalau memang kamu enggak mikir pengen keceluk, kenapa tahlilan ini enggak kita serahkan saja ke jamaah salat Ashar atau Magrib atau Isya di masjid. Beres.”

“Astagfiruallah’alazim! Pikiranmu butek sekali, Tur, persis seperti Kang Mursid.”

“Ya, dipikir-pikir lagi betul juga Kang Mursid,” ujar Tursinah, seperti hendak meledakkan diri di tengah suasana tenang siang itu. “Kalau memang kamu enggak mikir pengen keceluk, kenapa kamu selalu terdengar pengen masakan ini masakan itu, pengen daging ini daging itu? Cih!”

“Astagfirullah’alazim! Oke, oke, baik, baik, Tur. Mangga, masak semurah mungkin! Yang penting itu kita bareng-bareng. Enggak ada sedikitpun aku pengen keceluk. Astagfirullah’alazim!”

Tumaroh dan Turidah diam. Semua kemudian reda untuk beberapa saat, sampai Tursinih kemudian menggerundel, “Kamu sudah tanya ke Ustad Kamal apa hukum gelaran tahililan ini?”

“Sudah,” ujar Tunjinah.

“Dia bilang apa?”

“Memang benar kata Kang Mursid dan kamu. Hukum gelaran tahlil itu tidak wajib. Sunah jika mampu.”

“Nah, kan, terus?”

“Udah itu aja.”

“Sunah jika mampu, dan juga jika enggak bikin keluarga rusuh!” sentak Tursinih. “Kamu harus paham itu! Kalian sudah paham itu, aku tahu. Tapi kalian enggak paham kenapa Ustad Kamal tidak pernah ngomong hukum soal gelaran tahlil ini ke pengajian-pengajian. Kenapa? Ya, karena dia dapat duit dari memimpin tahlil,” ujar Tursinih penuh penekanan. “Dan, dia juga enggak paham bahwa ada duit-ikhlas dan ada duit tidak-ikhlas. Kalian harus paham, duit mendiang Mang Yunus itu berbeda dengan duit mendiang istri Kaji Darpan. Bau lembaran duit dari tangan Kaji Darpan dan kita saja sudah berbeda, apalagi jika dibelanjakan menjadi makanan. Satu bikin bergizi. Satu lagi bikin mules.”

Tursinih memberikan pemaparan dengan tanpa melirik ke arah Tunjinah. “Kalian lihat saja. Kaji Darpan itu mengundang seratus orang. Yang datang bisa dua ratus. Yang tersedia itu bisa saja ada dua ratus lima puluh nasi berkat. Lha, bagaimana dengan keluarga mendiang Mang Yunus? Kau bikin nasi berkat seratus, tapi hadirin malah dua puluh orang. Mau kau ke manakan sisa nasi berkat itu? Kau bagi-bagi sampai pojok desa Tegalurung? Masih mau keceluk seperti Kaji Darpan? Boleh saja kalau mau keceluk, tapi kau juga pasti kecekik.”

“Yu, Yu Tur, sudah, sudah,” ujar Tumaroh. “Kami sungguh-sungguh sudah paham. Sekarang sudah enggak pas lagi buat berselisih paham.”

Tursinih beringsut, begitupun Tunjinah.

“Jadi, bagaimana dengan jumlah undangan nanti? Mau berapa orang diundang?” tanya Turidah, menengahi.

“Kita bikin tujuh puluh nasi berkat dan tujuh puluh undangan,” jawab Tumaroh.

“Kurasa tujuh puluh itu juga enggak akan hadir semua. Jadi, kalau lebih, kita bisa bagi-bagi ke tetangga.”

“Nah, sudah betul begitu,” sambung Tursinih.

“Biar kuhitung,” sambung Turidah.

Segala persiapan, belanja ini-itu sudah barang tentu bisa dilakukan dalam sehari, tetapi dengan cekcok sana-sini, barulah seminggu kemudian persiapan gelaran itu beres. Pada ba’da salat Jumat, tahlilan ngatus mendiang Mang Yunus dipimpin oleh ustad Kamal dengan takzim. Para hadirin pulang dengan menjinjing satu-satu nasi berkat, juga para anak-anak lelaki. Tak satu orang kurang. Tak satu tetangga tak kebagian. Ustad Kamal pun mengucapkan terima kasih setelah menerima amplop dari tangan Tunjinah.

Semua telah beres, meninggalkan piring-piring kotor, plastik-plastik berserakan, dan gelas-gelas aqua berhamburan di pelataran rumah. Di hadapan ketiga saudari, Tunjinah berkata, “Setelah kuhitung-hitung, uang patungan kita itu adalah lebihan lima ratus ribu.” Ia menunjukkan semua nota pembelian tetek-bengek helatan tahlil itu.

“Uang ini biar kusimpan saja buat mendak[3] bapak nanti.”

“Ya, terserah kamu saja,” imbuh Tumaroh.

“Ya sudah,” imbuh Turidah.

Tursinih tidak memberikan tanggapan, pun ia melengos tak melirik ke arah Tunjinah.

“Bagaimana menurutmu, Tur?”

“Ya sudah jelas uang itu harus dibagi lagi. Lima ratus ribu untuk lima orang. Seratus masing-masing.”

“Kok begitu sih, Tur?” elak Tunjinah.

“Kan sudah disepakati. Kalau kita ada kurang-kurang, maka kita patungan lagi. Sama berat sama rata. Begitu pula kalau kita ada lebihan, maka dibagikan lagi sama berat sama rata. Kamu lupa?”

“Uang ini kan buat mendiang bapak. Kok kamu tega bilang begitu?”

“Kalau Kang Mursid ada di sini, ia pasti akan ngomong persis sepertiku,” ujar Tursinih. “Begini saja, aku minta bagianku seratus. Silakan kau simpan bagian Kang Mursid. Silakan pula kalau bagian Tumaroh dan Turidah mau kausimpan.”

“Astagfirullah’alazim, Tur. Tega sekali sampean bilang begitu. Uang ini kuniatkan untuk mendak bapak nanti.”

“Lho, ini bukan persoalan tega atau tidak. Ini persoalan kesepakatan kita. Lama-lama kurasa omongan kamu enggak bisa dipegang, ya, Tun,” ujar Tursinih mulai kesal. “Urusan kita ngatus ini sudah selesai. Patungan kita juga selesai. Kalau nanti ada mendak, kita akan patungan lagi. Begitu kan?”

“Astagfirullah’alazim, Tur. Lama-lama sampean seperti Kang Mursid. Hatimu sudah kaku.”

“Lho. Lho. Lho… tunggu dulu! Jangan bawa-bawa hati! Sampean lupa sejak pertama aku mohon-mohon untuk menunda ngatus ini karena aku lagi enggak ada duit? Sampean lupa kalau aku sampean ngutang sana-sini demi ngatus ini? Sampean lupa kalau Tumaroh juga patungan dengan uang utang?”

Tunjinah bergeming.

“Sekarang bilang padaku, bagaimana aku bisa tahu sampean masih akan menyimpan uang itu selama sembilan ratus hari ke depan sampai hari mendak tiba?”

Tunjinah merogoh isi tas jinjing dengan asal-asalan sehingga bergemerincing pulalah uang recehan. Lalu melempar beberapa lembar uang ratus ribuan ke tanah. Dengan sangat tergesa-gesa ia menghidupkan mesin sepeda motor, lalu tancap gas dengan kecepatan bak kelebat setan.[*]

SUMBER : https://www.bacapetra.co/

Pencarian
Kontak
Alamat :

Jl. Raya Cihaur Dusun Pasirpanjang Rt. 003 Rw. 002 Desa Kalimanggis Kecamatan Manonjaya

Telepon :

082318033335

Email :

pkbmalfattah@gmail.com

Website :

https://www.pkbmalfattah.sch.id

Media Sosial :
Banner
Kalender

September 2025

Mg Sn Sl Rb Km Jm Sb
1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12 13
14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27
28 29 30